Thema : Sistem
Pendidikan Di Indonesia Terhadap Tingginya Jumlah Pengangguran
Sistem
Pendidikan Buruk, Pengangguran Meningkat
Ø Abstrak :
Pendidikan di Indonesia
secara terstruktur menjadi tanggung
jawab Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Kemdiknas). Saat ini, pendidikan
di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Walaupun sudah diatur melalui undang-undang, sistem
pendidikan di Indonesia tidak lepas dari problematika yang berakibat pada
tingginya jumlah pengangguran di
Indonesia.
Banyaknya jumlah pengangguran di Indonesia disebabkan oleh
lebih banyaknya jumlah lulusan daripada jumlah lapangan pekerjaan yang ada di
Indonesia.
Pendidikan yang tinggi tidak
menjamin seseorang dapat langsung bekerja setelah lulus. Selain melihat dari
jenjang pendidikan, sebuah Perusahaan lebih memilih pekerja yang tidak hanya
pintar/berintelektual tetapi yang memiliki bakat/ terampil dalam bekerja.
Pengangguran umumnya disebabkan
karena jumlah angkatan
kerja tidak
sebanding dengan jumlah lapangan
pekerjaan yang
mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan
pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan
timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah
sosial lainnya.
Ø Pendahuluan
Pengangguran sarjana atau lulusan universitas
ternyata tertinggi di Tanah Air dibandingkan dengan lulusan lain. Badan Pusat
Statistik merilis, per Februari 2010, angka pengangguran terbuka mencapai 8,59
juta orang. Sebanyak 1,22 juta orang atau 14,24 persen di antaranya adalah
sarjana.
Kepala BPS Rusman Heriawan mengatakan, jumlah
pengangguran sarjana meningkat dibandingkan dengan posisi tahun-tahun
sebelumnya. Data BPS memperlihatkan, pada Februari dan Agustus 2009, pengangguran
sarjana masing-masing hanya 12,94 persen dan 13,08 persen. Dalam rilis BPS per
Februari ini mencatat jumlah pengangguran terbuka berdasarkan riwayat
pendidikan tertinggi ditempati oleh pendidikan diploma I/II/III yang mencapai
15,71 persen dari 8,59 juta pengangguran. Sementara untuk pengangguran lain
dengan angka pengangguran total 8,59 juta pengangguran masing-masing adalah
lulusan universitas 14,24 persen, SMK 13,81 persen, SMA 11,9 persen, SMP 7,55
persen, dan SD ke bawah 3,71 persen.
Dari data di atas, sudah sangat jelas Indonesia
mempunyai permasalahan yang tidak ringan dalam mengatasi pengangguran, utamanya
yang bergelar sarjana. Sudah kuliah bayar mahal, ujung-ujungnya menganggur
juga. Bila tidak segera diatasi, angka ini bukannya semakin turun tapi akan
melonjak naik. Apalagi bila mengingat tiap tahun ada dua gelombang wisuda di
tiap Perguruan Tinggi (PT), maka tinggal mengalikan saja jumlah tersebut dengan
jumlah PT di Indonesia. Disini terlihat jelas bahwa jumlah lulusan sarjana dari
tahun ketahun semakin bertambah, sehingga semakin meningkat pula angkatan kerja
yang tidak persis diimbangi dengan perubahan pada kesempatan kerja.
Lalu yang menjadi pertanyaan kita adalah kenapa
hal demikian ini bisa terjadi? Bukankah semakin tinggi pendidikan seseorang,
semakin luas pula kesempatan kerja yang diperolehnya? Atau dimanakah letak
kesalahan tersebut? Apakah sistem pendidikan yang selama ini keliru? Yang hanya
berorientasi melahirkan jumlah calon karyawan yang mencari kerja (what to do)
tetapi bukan bagaimana menciptakan calon-calon pengusaha yang mandiri (what to
be)?
Menurut Richard G. Lipsey dan kawan-kawan. (dalam
buku "Economics 10th ed.", 1997: 39) menjelaskan, bahwa pengangguran
adalah barang buruk ("bad") sosial seperti halnya keluaran merupakan
barang baik ("good") sosial. Orang yang menganggur adalah orang yang
mau dan mampu bekerja tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan.
Masih menurut Lipsey, Pengangguran pun merupakan
sumber daya berharga yang potensi keluarannya tersia-sia. Pasangan fisik
pengangguran adalah senjang resesi-potensi PDB yang tidak jadi dihasilkan.
Keadaan demikian akan berpengaruh juga pada Pendapatan Nasional.
Bila pendapatan nasional berubah, maka volume
kesempatan kerja ( employment) dan volume pengangguran (Unemployment) juga
berubah. Angka pengangguran memang berfluktuasi dari tahun ke tahun, karena
perubahan pada angkatan kerja tidak persis diimbangi oleh perubahan pada
kesempatan kerja.
Ø Landasan Teori
Pendidikan merupakan
salah satu hal terpenting bagi suatu negara selain kesehatan, ekonomi, dan
politik. Maju tidaknya suatu negara bisa dilihat dari sistem pendidikan yang
berlaku dan berlangsung di negara tersebut. Begitu juga dengan Indonesia. Akhir
- akhir ni kita pasti sering mendengar dan membaca tentang prestasi anak didik
Indonesia yang prestasinya berkibar di kancah internasional. Itu berarti bahwa
kepandaian siswa Indonesia tidak boleh dipandang sebelah mata lagi. Namun
sayangnya, hingga kini masih terdapat beberapa masalah pendidikan Indonesia
yang belum bisa terpecahkan secara tuntas.
Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari
kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang
berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan
karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan
jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali
menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat
menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalahsosial lainnya.
Ø Pembahasan
1.
Pendidikan di Indonesia
Pendidikan
di Indonesia adalah
seluruh pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia, baik itu secara terstruktur maupun tidak terstruktur.
Secara terstruktur, pendidikan di
Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Kemdiknas), dahulu bernama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Depdikbud). Di
Indonesia, semua penduduk wajib mengikuti program wajib belajar pendidikan dasar selama sembilan tahun, enam tahun
di sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan tiga tahun di sekolah menengah
pertama/madrasah tsanawiyah. Saat ini, pendidikan di Indonesia
diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Pendidikan di Indonesia terbagi ke
dalam tiga jalur utama, yaitu formal,
nonformal, dan informal. Pendidikan juga dibagi ke dalam empat jenjang, yaitu anak usia dini, dasar, menengah, dan tinggi.
1.1
Jalur pendidikan
Jalur pendidikan adalah
wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu
proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
·
Pendidikan
formal
Pendidikan
formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah
pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas,
mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.
·
Pendidikan
nonformal
Pendidikan nonformal paling banyak terdapat pada
usia dini, serta pendidikan dasar, adalah TPA, atau Taman Pendidikan Al
Quran,yang banyak terdapat di setiap mesjid dan Sekolah Minggu, yang
terdapat di semua gereja.
Selain itu, ada juga berbagai kursus, diantaranya kursus
musik, bimbingan belajar dan sebagainya.
·
Pendidikan
informal
Pendidikan informal adalah
jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri yang dilakukan secara sadar dan bertanggung jawab.
1.2
Jenjang Pendidikan
·
Pendidikan
anak usia dini
Mengacu
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003,
Pasal 1 Butir 14 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan anak
usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan bagi anak sejak
lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
·
Pendidikan
dasar
Pendidikan dasar merupakan jenjang
pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang
melandasi jenjang pendidikan menengah.
·
Pendidikan
menengah
Pendidikan menengah
merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar.
·
Pendidikan
tinggi
Pendidikan tinggi adalah jenjang
pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana,magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan
oleh perguruan tinggi.
1.3
Tingkat Pendidikan
·
Prasekolah
Dari kelahiran sampai usia 3
tahun, kanak-kanak Indonesia pada umumnya tidak memiliki akses terhadap
pendidikan formal. Dari usia 3 sampai 4 atau 5 tahun, mereka memasuki taman
kanak-kanak. Pendidikan ini tidak wajib bagi warga negara Indonesia, tujuan
pokoknya adalah untuk mempersiapkan anak didik memasuki sekolah dasar. Dari
49.000 taman kanak-kanak yang ada di Indonesia, 99,35% diselenggarakan oleh
pihak swasta. Periode taman kanak-kanak biasanya dibagi ke dalam "Kelas
A" (atau Nol Kecil) dan "Kelas B" (atau Nol Besar), masing-masing
untuk periode satu tahun.
·
Sekolah
dasar
Kanak-kanak berusia 6–11
tahun memasuki sekolah dasar (SD) atau madrasah ibtidaiyah (MI). Tingkatan pendidikan
ini adalah wajib bagi seluruh warga negara Indonesia berdasarkan konstitusi
nasional. Tidak seperti taman kanak-kanak yang sebagian besar di antaranya
diselenggarakan pihak swasta, justru sebagian besar sekolah dasar
diselenggarakan oleh sekolah-sekolah umum yang disediakan oleh negara (disebut
"sekolah dasar negeri" atau "madrasah ibtidaiyah negeri"),
terhitung 93% dari seluruh sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah yang ada di
Indonesia. Sama halnya dengan sistem pendidikan di Amerika Serikat dan
Australia, para siswa harus belajar selama enam tahun untuk menyelesaikan
tahapan ini. Beberapa sekolah memberikan program pembelajaran yang dipercepat,
di mana para siswa yang berkinerja bagus dapat menuntaskan sekolah dasar selama
lima tahun saja.
·
Sekolah
menengah pertama
Sekolah menengah pertama
(SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs) adalah bagian dari pendidikan dasar di Indonesia. Setelah tamat dari SD/MI,
para siswa dapat memilih untuk memasuki SMP atau MTs selama tiga tahun pada
kisaran usia 12-14. Setelah tiga tahun dan tamat, para siswa dapat meneruskan
pendidikan mereka ke sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan
(SMK), atau madrasah aliyah (MA).
·
Sekolah
menengah atas
Di Indonesia, pada tingkatan ini
terdapat tiga jenis sekolah, yaitu sekolah menengah atas(SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah
aliyah (MA). Siswa SMA dipersiapkan untuk melanjutkan pendidikannya
di perguruan
tinggi,
sedangkan siswa SMK dipersiapkan untuk dapat langsung memasuki dunia kerja
tanpa melanjutkan ke tahapan pendidikan selanjutnya. Madrasah aliyah pada
dasarnya sama dengan sekolah menengah atas, tetapi porsi kurikulum keagamaannya
(dalam hal ini Islam) lebih besar dibandingkan
dengan sekolah menengah atas.
Jumlah sekolah menengah atas di Indonesia sedikit lebih kecil
dari 9.000 buah.
·
Pendidikan
tinggi
Setelah tamat dari sekolah
menengah atas atau madrasah aliyah, para siswa dapat memasuki perguruan tinggi.
Pendidikan tinggi di Indonesia dibagi ke dalam dua kategori: yakni negeri dan
swasta. Kedua-duanya dipandu oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Terdapat beberapa
jenis lembaga pendidikan tinggi; misalnya universitas, sekolah
tinggi, institut, akademi, dan politeknik. Ada beberapa tingkatan
gelar yang dapat diraih di pendidikan tinggi, yaitu Diploma 3 (D3), Diploma 4 (D4), Strata 1 (S1), Strata 2 (S2), dan Strata 3 (S3).
2.
Masalah Pendidikan Indonesia
Pendidikan merupakan salah
satu hal terpenting bagi suatu negara selain kesehatan, ekonomi, dan politik.
Maju tidaknya suatu negara bisa dilihat dari sistem pendidikan yang berlaku dan
berlangsung di negara tersebut. Begitu juga dengan Indonesia. Akhir - akhir ni
kita pasti sering mendengar dan membaca tentang prestasi anak didik Indonesia
yang prestasinya berkibar di kancah internasional. Itu berarti bahwa kepandaian
siswa Indonesia tidak boleh dipandang sebelah mata lagi. Namun sayangnya,
hingga kini masih terdapat beberapa masalah pendidikan Indoensia yang belum
bisa terpecahkan secara tuntas.
Masalah pendidikan Indonesia
tersebut diantaranya adalah:
2.1
Kualitas Pengajar
Keadaan guru di Indonesia juga amat
memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai
untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003
yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian
dan melakukan pengabdian masyarakat.
Walaupun guru dan pengajar bukan
satu-satunya factor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran
merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas,
tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang
menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
Untuk meningkatkan kesejahteraan guru
pemerintah telah menetapkan Permen Diknas No 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi
guru dalam jaban dilaksanakan melalui Uji Kompetensi untuk memperoleh sertifikat
pendidik melalui penilaian Portofolio yang terdiri dari 10 komponen , mereka yang
telah lulus maka akan diberi tunjangan sebesar gaji pokok yang diterimanya.
Pemerintah
memang telah menerapkan program sertifikasi guru yang memiliki tujuan utama
untuk meningkatkan kualitas pengajar atau tenaga pendidik. Namun, hingga saat
ini kita masih bisa menemui tenaga pengajar yang ilmu dan pengetahuannya belum
up to date sehingga hanya terkesan asal - asalan saja menjalani program
sertifikasi guru tersebut. Tenaga pengajar yang belum up to date dalam ilmu dan
pengetahuannya dapat membuat kualitas pendidikan di Indonesia semakin menurun.
Selain tenaga pengajar yang ilmu
pengetahuannya belum up to date, rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran
dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII
(Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya
seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang,
pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460
ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan
sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari,
menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa
ponsel, dan sebagainya.
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali
kesejahteraan guru dan dosen (PNS) lebih layak. Di dalam pasal itu disebutkan
guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi,
dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan
tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak
atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta
dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta,
masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran
Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten
tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU
Guru dan Dosen.
2.2
Pergantian Kurikulum
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Kurikulum
adalah perangkat mata pelajaran yang diajarkan pada lembaga pendidikan. Dalam arti
lain, Kurikulum adalah sebuah sistem dalam pendidikan yang dijadikan sebagai
acuan dalam proses dan hasil pendidikan. Kurikulum dianggap sebagai dasar atau
asas dalam pendidikan secara menyeluruh. Sehingga, apabila dasar tersebut tak
kokoh maka yang terjadi adalah sebuah kerobohan pendidikan. Kurikulum di
Indonesia dianggap sebagai kurikulum yang lemah atau tak kokoh, sehingga
kemungkinan robohnya pendidikan Indonesia semakin besar. Hal ini dibuktikan
dengan sering bergantinya kurikulum-kurikulum tersebut dari tahun ke tahun
dalam kurun waktu kurang lebih enam puluh lima tahun. Pemerintah mengganti
kurikulum pendidikan yang sedang berlaku pada masa itu karena kurikulum
tersebut dianggap tidak dapat mencapai tujuannya dan memecahkan masalah yang
terjadi pada kurikulum sebelumnya.
Ini
merupakan masalah klasik pendidikan di Indonesia dimana sering sekali terjadi
pergantian kurikulum setiap kali terjadi pergantian pejabat setingkat menteri.
Parahnya, sebagai akibat dari seringnya terjadi pergantian kurikulum ini adalah
harus sering melakukan penggantian buku dan materi ajar yang tidak kalah
merepotkan bagi guru, siswa, dan orang tua / wali.
Guru harus memiliki bakat dan
keahlian menjadi guru artinya guru harus mampu mengajar dan mendidik
siswa-siswanya melalui ilmu yang baik dengan etika yang baik pula. Guru adalah
tauladan dan contoh bagi siswanya seperti dalam pepatah “guru kencing berdiri,
murid kencing berlari”, maka sikap baik guru merupakan hal yang wajib dilakukan
sebagai contoh bagi siswanya. Sedangkan pengetahuan yang luas wajib dimiliki
oleh guru karena jika seorang guru tak memiliki pengetahuan ataupun pengalaman
yang berlimpah, maka ia juga tak memiliki apa-apa untuk diberikan pada
muridnya. Sehingga, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki guru sangat
berarti sebagai pengajaran kepada muridnya.
Dengan terciptanya profesionalitas
guru maka guru juga turut serta membantu terciptanya persatuan dan kesatuan.
Hal tersebut dikarenakan profesionalitas guru mampu mendidik muridnya menjadi
warga negara yang baik dengan rasa cinta tanah air. Sehingga, seharusnya
pergantian kurikulum dibarengi dengan peningkatan profesionalitas guru agar
tercipta pendidikan yang mampu merekatkan bangsa seperti yang diharapkan.
2.3
Biaya Pendidikan yang Tinggi
Setiap
kali menjelang musim ajaran baru, kebanyakan orang tua / wali pasti
dibingungkan dengan masalah biaya pendidikan. Mulai dari uang pendaftaran, uang
gedung, uang SPP, dll. Terlebih bila ingin memasukkan anak mereka di sekolah
dengan standard internasional yang biayanya bisa berkali kali lipat bila
dibanding dengan sekolah biasa. Begitu juga dengan perguruan tinggi. Biaya uang
gedung dan SPP (baik SPP tetap dan SPP variabel) sudah semakin tidak terjangkau
bagi masyarakat miskin.
Pendidikan bermutu itu
mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya
yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan
Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN
saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan
ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1
juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya
pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan
MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha
memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite
Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya,
Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan
MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab Negara terhadap
permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih
buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum
jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan
status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya
atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak
jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum
Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Bagi masyarakat tertentu,
beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu
itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman,
Prancis, Belanda, dan di beberapa Negara berkembang lainnya, banyak perguruan
tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa
negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas
memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau
gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?
Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap
warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah
justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak
dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
2.4
Metode Evaluasi
Gonjang
- ganjing pelaksanaan Ujian Akhir Nasional atau UAN pasti terjadi setiap
tahunnya. Mulai meributkan tentang standar nilai,sistem pelaksanaan UAN itu
sendiri, hingga penggunaan nilai UAN untuk mendaftar di sekolah yang lebih
tinggi. Dan yang pasti, UAN masih tetap menjadi momok bagi sebagian besar siswa
dan guru di Indonesia.
2.5
Sarana dan Prasarana Pendidikan
Siswa
akan mampu belajar dengan tenang bila sarana dan prasarana pendidikan memadai.
Untuk wilayah perkotaan mungkin akan sangat jarang ditemui sarana dan prasarana
pendidikan yang tidak layak. Namun coba kita lihat sarana dan prasarana
pendidikan di wilayah pedalaman Indoensia, sangat memprihatinkan. Padahal para
siswa di wilayah pedalama Indonesia tersebut juga memiliki hak yang sama untuk
bisa menikmati sarana dan prasarana pendidikan yang layak.
3.
Pengangguran
Pengangguran atau tuna
karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali,
sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau
seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya
disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding
dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran
seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena
dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan
berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan
masalah-masalahsosial lainnya.
Pengangguran intelektual tidak terlepas dari persoalan dunia
pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai
tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah
bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh
bangsa kita di mana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun
mereka sebenarnya menyandang gelar.
Salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita
adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk
profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan
kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan
seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa
menjadi bosan. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan
dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja
terdidik kita juga adalah karena kita terlalu melihat pada gelar tanpa secara
serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni.
Jadi apakah dengan pendidikan yang tinggi akan
semakin mudah mencari kerja? Dan mampukah Pemerintah dengan filosopis anggaran
20 persen dari APBN maupun APBD yang dialokasikan untuk pendidikan nantinya
dibarengi dengan peningkatan kesempatan kerja? atau hanya hisapan jempol
belaka?
Bagaimanapun pendidikan adalah sarana untuk
mentrasformasi kehidupan kearah yang lebih baik. Pendidikan pun dijadikan
standar stratifikasi sosial seseorang. Orang yang berpendidikan akan
mendapatkan penghormatan (prestice of life) dimata publik walaupun dari
keturunannya tidak dikarunia oleh Tuhan kekayaan yang berlimpah.
Akibatnya, orangpun berbondong-bondong untuk
mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Mengingat dunia ini terus melaju pada
era globalisasi, era persaingan global dan Indonesia merupakan bagian yang ikut
andil didalamnya.
Dikehendaki ataupun tidak, setiap negara akan
mengikuti perubahan dunia tersebut. Sehingga untuk mempersiapkan diri dari
setiap persaingan global tersebut, manusiapun meningkatkan kualitas dan
kuantitas pendidikannya baik mereguk pendidikan didalam negeri maupun dinegeri
orang yang sudah nyata-nyata kualitasnya (hight quality).
Ø Kesimpulan
Buruknya sistem
pendidikan di Indonesia membuat jumlah pengangguran semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Kualitas Pengajar, Pergantian
Kurikulum, Biaya Pendidikan yang Tinggi, Metode Evaluasi, Sarana
dan Prasarana Pendidikan adalah masalah-masalah pendidikan yang ada di
Indonesia. Jumlah lulusan yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lapangan
pekerjaan juga mengakibatkan jumlah pengangguran bertambah. Bagaimana hal ini
dapat diatasi? Hal ini dapat diatasi salah satunya dengan membuat lulusan
pendidikan tinggi lebih terampil dalam berusaha. Mengapa? Karena dengan
keterampilan berusaha yang mereka miliki, lulusan dapat membuat suatu usaha
dengan mempekerjakan beberapa karyawan sehingga mereka dapat membuka lowongan
pekerjaan untuk lulusan-lulusan yang lain.
Ø Daftar
Pustaka
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Nama : Lidiana Tri Cahyani
Kelas : 1EB24
NPM ; 24212194
Tugas
ke : 1
Komentar
Posting Komentar