Tugas 2 - Persaingan Harga Produk Dalam Negeri Versus Harga Produk Luar Negeri dilihat dari tingginya biaya produksi
Thema : Persaingan
Harga Produk Dalam Negeri Versus Harga Produk Luar Negeri dilihat dari
tingginya biaya produksi
Maraknya Produk China di dalam Negeri
Ø Abstrak
Harga sebuah produk di dalam
Negeri lebih mahal dari pada harga produk Luar Negeri. Tingginya
biaya logistik barang domestik mendorong harga-harga produksi dalam negeri
menjadi mahal jika dibandingkan dengan produk-produk impor. Biaya logistik di Indonesia yang tinggi tersebut menyebabkan
biaya pokok menjadi mahal dan permasalahan itu tentunya disebabkan oleh
keterlambatan pembangunan dan kondisi infrastruktur saat ini yang tidak memadai.
Karena itu, sejumlah pelaku industri kelautan meminta agar biaya logistik ini
dikurangi.
Walaupun Indonesia terkenal
memiliki biaya tenaga kerja yang murah, namun hal ini tidak didukung dengan
efisiensi biaya produksi. Banyak faktor yang menyebabkan tingginya biaya
produksi. Mulai dari harga bahan baku lokal yang tinggi, hingga besarnya biaya
yang harus dikeluarkan pengusaha untuk berbagai urusan. Hal inilah yang
menyebabkan produk buatan Indonesia tidak bisa bersaing dengan produk dari
negara lain.
Pemerintah seharusnya mulai mengambil langkah untuk
meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Daya saing tersebut sangat dipengaruhi
oleh iklim investasi, kualitas dari birokrasi dan politisi yang membuat
undang-undang, buruh juga memiliki peranan, tentunya juga sumber daya alam yang
Indonesia miliki.
Produk-produk
dari luar negeri yang masuk ke Indonesia saat ini, didominasi oleh produk dari
China,
karena produk yang masuk ke negeri ini memiliki varian yang luar biasa. Produk-produk dari China dijual dengan harga
yang relative lebih murah dibandingkan dengan produk dalam negeri. Harga jual produk
China yang rendah inilah yang memicu produk cina semakin marak penjualannya di
Indonesia. Produk-produk yang didominasi oleh produk dari China misalnya mainan
anak, sendok, ballpoint, dan lain sebagainya.
Ø Pendahuluan
“Cintailah
produk-produk dalam negeri”, sebuah seruan yang begitu gencar di
sosialisasikan oleh pemerintah. Sosialisasi yang disampaikan dengan berbagai
macam media tersebut, baik melalui media eletronik mapun melalui cetak,
diharapkan oleh pemerintah menjadi penggerak bagi masyarakat untuk menggunakan
produk buatan dalam negeri. Pertanyaannya, gerakan tersebut merupakan wujud
nasionalisme bangsa atau wujud kekhawatiran pemerintah atas invasi
produk-produk yang datang dari luar negeri?
Seperti
yang telah
kita ketahui, produk-produk dari luar negeri yang masuk ke Indonesia saat
ini
sangat didominasi oleh produk asal Amerika Serikat, yang
ditempel ketat oleh produk dari China. Bahkan produk China sebenarnya lebih
mendominasi karena produk yang masuk ke negeri ini memiliki varian yang luar
biasa. Dari mulai sendok sampai perangkat elektronik, semua berlabel ‘made
in china’, dan yang menjadi nilai tambahnya, harga produk-produk dari China
jauh lebih murah. Dalam hal ini, saya akan mengupas tentang produk China di
negeri ini, bukan produk luar lainnya karena ingin membandingkan dengan produk
sejenis yang juga diproduksi oleh industri lokal. Hal ini agar kita mendapatkan
gambaran indikator pembanding yang sesuai, tidak mungkin kita membandingkan
produk luar semacam mobil Jepang atau Eropa, yang kita sendiri tidak
memproduksinya.
Ø Landasan Teori
Mahalnya
produk buatan dalam negeri dibandingkan dengan impor, menurut Kamar Dagang dan
Industri karena biaya logistik yang mahal di dalam negeri. "Lama kelamaan
produk kita ini tidak laku, karena biaya logistik kita mahal yang berdampak
kepada mahalnya produk dalam negeri," ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang
Indonesia (Kadin) Bidang Logistik Carmelita Hartoto di Hotel Mulia, Jakarta,
Selasa (26/3).
Dia mencontohkan
biaya pelabuhan di Indonesia juga cukup mahal dibandingkan dengan biaya
pelabuhan luar negeri, sehingga serbuan produk asing lebih murah dibanding
produk dalam negeri.
Sebagai
komparasi dari Singapura ke Jepang biaya kapal USD 600 dan biaya pelabuhan USD
200, sementara dari Jakarta ke Medan biaya kapal Rp 6 juta sedangkan biaya
pelabuhan Rp 3,5 juta.
Tingginya
biaya logistik, membuat pengusaha logistik Indonesia membeli armada kapal yang
juga tua sehingga ongkos perawatan lebih mahal. "Ya akhirnya harga produk
kan akan berimbas lebih mahal juga," ujarnya.
Pengamat
Transportasi Yamin Jingca mengakui bahwa mahalnya biaya logistik dikarenakan 3
faktor, yakin muatan, kapal, pelabuhan dan infrastruktur. "Kita harus
menegaskan pemerintah untuk segera membangun infrastruktur khususnya
infrastruktur transportasi." ujarnya.
Permasalahan
akses darat pun masih menjadi faktor mahalnya biaya logistik, karena akses
transportasi geometrik jalan yang masih bermasalah. "Sekarang banyak
kontainer menumpuk di pelabuhan, karena masih banyak pelabuhan yang dibangun
tidak singkron dengan akses transportasinya," katanya.
Ø Pembahasan
Invasi
besar-besaran produk China, terlebih setelah ditandatanganinya perjanjian
perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade agreement (ACFTA) pada 1 Januari
2010 lalu, menjadi faktor pendorong makin maraknya seruan untuk memakai
produk dalam negeri. Pemerintah seperti kebakaran jenggot karena kerjasama
perdagangan yang dibangun dengan China malah menjadi bumerang. Produk China,
yang sudah kuat dari segi inovasi dan harga yang relatif rendah menyebabkan
produk lokal kalah di pasaran negeri sendiri. Dampak kalahnya produk lokal di
negeri sendiri menghadirkan banyak efek negatif, dimulai dari matinya industri
lokal. Matinya industri lokal tersebut kebanyakan karena harga barang yang
dipatok jauh diatas harga barang sejenis dari China, sehingga di pasaran,
masyarakat lebih memilih produk asal China. Padahal sebenarnya bila dikaji
lebih dalam, bukan karena produk lokal yang terlalu mahal melainkan karena
murahnya produk dari China. Timbul pertanyaan, mengapa produk dari China bisa
jauh lebih rendah harganya?.
Bila
kita melihat dari segi kebijakan, pemerintah China dalam dunia perdagangan
ternyata menerapkan politik Dumping.
Apakah politik Dumping itu?
Politik Dumping adalah sebuah kebijakan
yang diambil oleh pemerintah dalam perdagangan dimana harga suatu barang yang
dijual di pasaran luar, seperti Indonesia, jauh lebih murah dibandingkan yang
dijual di pasar domestik China sendiri. Hal tersebut yang menyebabkan China
dapat menguasai pasaran di luar, tidak hanya di Indonesia saja, melainkan pada
ruang lingkup yang lebih luas.
Menurut
data statistik Kementerian Perdagangan, Selama 2010, impor dari China naik
45,86% senilai US$20,424 juta. Peningkatan terbesar terjadi pada 5 sektor utama
yakni produk mainan anak sebesar 72%, furnitur 54%, elektronika 36%, tekstil
dan produk tekstil (TPT) 33%, permesinan 22,22% serta logam 18%. Sebuah angka
yang luar biasa besarnya ternyata telah dikeluarkan oleh negeri kita untuk
mengimpor produk dari China.
Politik
Dumping tersebut dapat berjalan hanya bila pelaku industri dapat menekan biaya
produksi sehingga harga jualnya menjadi rendah, dan hal tersebut yang dilakukan
oleh China. Faktor yang menyebabkan murahnya biaya produksi antara lain :
·
murahnya bahan baku,
·
iklim
permodalan yang sehat,
·
murahnya upah tenaga kerja,
·
sampai murah dan stabilnya
biaya energi.
Faktor
tersebut yang menyebabkan tidak sulit untuk menetapkan kebijakan harga barang
yang murah untuk dipasarkan.
Dari
segi inovasi, terlebih dalam lagi varian produk elektronik, China benar-benar
mengerti apa yang dibutuhkan oleh pasar luar negeri. Produk fenomenal produksi Apple, mulai dari Ipod, Iphone, sampai yang terbaru Ipad, dengan cepat dapat dibuat replikanya oleh China, dan dengan
harga yang jauh lebih murah. Dari segi kualitas tentulah memang tidak sama,
tapi China tahu bahwa untuk pasaran menengah kebawah produk tersebut tetaplah
diminati, bahkan mungkin penjualannya lebih banyak dari produk yang aslinya.
Kekuatan
perdagangan berikutnya dari China selain kebijakan pemerintah, penekanan biaya
produksi, dan inovasi adalah observasi. Pelaku industri di China bertindak
lebih fleksibel dalam hal memproduksi barang, dengan pertimbangan negara yang
dituju sebagai pasar ekspornya, misal di Indonesia, China bahkan memproduksi
jilbab, baju muslim sampai baju batik khusus untuk diekspor ke negeri ini saja,
dan pasti dengan harga yang jauh lebih murah dari industri lokal.
Melihat
apa yang telah dijabarkan tersebut, apa yang akan kita lakukan? Apakah kita
akan lebih sibuk menyalahkan pemerintah yang mau menandatangani perjanjian
AFCTA? atau tetap diam saja dan terus menjadi konsumen setia produk China yang
ada di negeri ini? Dengan harga yang ditawarkan, kita tidak dirugikan.
Atau kita memilih untuk peduli terhadap bangsa ini, dan masih percaya bahwa
negara kita bukan hanya negara konsumen? Bila ini yang kita pilih, mari kita
coba rumuskan apa yang harus kita lakukan.
Kita
sebaiknya bisa belajar dari kesuksesan Cina mengembangkan dunia usaha dan
industrinya. Hal ini jauh lebih baik daripada hanya menggerutu melihat
produk-produk Cina yang membanjiri pasar dalam negeri, bahkan lebih parah, kita
justru menikmatinya.
Merajalelanya
produk-produk Cina dengan harga yang murah dan berkualitas harus dilihat tidak
hanya sebagai ancaman, namun juga sebagai pemicu agar Indonesia bisa bergerak
ke arah perbaikan, dengan dasar pemikiran, jika China bisa, mengapa kita
tidak?.
Pertama,
kita harus mencoba mengkaji kebijakan-kebijakan Cina dalam perekonomian
khususnya dalam memajukan industri perdagangannya. Kemudian, dengan dasar
kajian tersebut mari rumuskan manakah yang bisa dan tepat untuk diterapkan di
Indonesia. Karena kita tetap harus mempertimbangkan keadaan, latar belakang,
dan budaya Cina yang tidak sama dengan Indonesia.
Langkah
kedua yang bisa ditempuh adalah
dengan melakukan pembenahan baik dari segi regulasi perdagangan maupun dalam
hal penentuan kebijakan perdagangan. Regulasi dan kebijakan yang seharusnya
ditetapkan oleh pemerintah adalah regulasi dan kebijakan yang pro pelaku
industri dalam negeri. Permasalahan regulasi sering menghambat pelaku industri,
bahkan sejak mencoba membangun industri dari awal, misal dalam pengurusan ijin
usaha yang membutuhkan jalur birokrasi yang berliku. Kemudian dalam hal
regulasi perpajakannya, sering kali pajak yang harus dibayarkan oleh pelaku
industri menyebabkan harga produk yang tidak bersaing karena menjadi lebih
mahal.
Ketiga,
adalah dengan meningkatkan mutu sumber daya manusia, baik pelaku usaha maupun
tenaga kerjanya, dalam hal ini, selain meningkatkan kompetensi dan kemampuan
pelaku usaha dan tenaga kerja, faktor lain yang perlu ditingkatkan adalah
mengutamakan efisiensi dan efektivitas dalam bekerja, karena tenaga kerja di
China,berdasarkan laporan The Global
Competitiveness Report 2009-2010, menduduki
peringkat 32 dari 133 negara, jauh meninggalkan Indonesia yang berada
di peringkat 75. Efektivitas tenaga kerja tersebut
sangat penting ditingkatkan karena secara langsung akan berpengaruh pada harga
produk yang akan dipasarkan.
Langkah
keempat adalah dengan memaksimalkan
peran akademisi seperti para peneliti dan ahli ilmu teknologi untuk menunjang
dunia usaha. Inovasi teknologi sangat dibutuhkan dalam persaingan produk yang
dipasarkan. Saat ini, kita sudah berada di jaman yang mengutamakan teknologi,
sehingga produk yang dipasarkan merupakan produk hasil teknologi. Dengan
penggunaan teknologi, juga dapat menekan biaya produksi yang sampai saat ini
masih banyak dilakukan dengan tenaga tradisional, yang akan meningkatkan
efektivitas baik dari segi biaya maupun waktu.
Kita
harus sama-sama memahami, sudah cukup rasanya kita menyibukkan diri dengan
menyalahkan perjanjian perdagangan bebas dengan China, dan sangat memalukan
bila kita harus meminta pemerintah membatalkan perjanjian tersebut. Bila kita
menganggap kita belum siap, maka mari kita perbaiki bersama. Membatalkan
perjanjian perdagangan sama saja memanjakan pelaku usaha lokal, sehingga tidak
akan ada perbaikan yang dilakukan oleh pelaku usaha lokal di negeri ini. kita
harus menjadikan perjanjian perdagangan dengan China sebagai tantangan yang
menguntungkan bagi negeri ini kedepannya.
SEBAB-SEBAB HARGA PRODUK-PRODUK
CHINA SANGAT MURAH
Produk China awalnya
banyak disepelekan dalam hal kualitas namun sebenarnya banyak juga produk China
yang berkualitas tinggi yang specnya atau kualitasnya sesuai dengan standard
internasional. Adapun beberapa sebab mengapa produk-produk China bisa murah
adalah:
1. Dukungan pemerintah.
Ada sebagian daerah
tertentu di China yang menpunyai potensi produksi yang bagus maka pemerintah
akan menbuat kebijakan dan kemudahan dalam perijinan, bahkan untuk jangka tahun
pertama produksi satu pabrik pemerintah membebaskan pajak dan malah kadang
dengan mensubsidi setiap jumlah barang yang diproduksi pabrik itu sekitar 10
persen, misal biaya membuat sebuah gelas yang harga modal bahan dan biaya
produksi Rp 1000 maka setiap produksi gelas itu mereka akan disudsidi oleh
pemerintah Rp100, hinga akhirnya mereka bisa menjual produk mereka diawal
dengan harga Rp1000 saja dan sudah untung.
2. Menjual produk dengan
berbagai kualitas.
Seorang importir
ketika ingin menbeli sebuah produk di china iapun ditunjukan 10 produk yang
dijejerkan bersama dan sekilas barang ini sama saja kualitasnya ,misal sebuah
botol kaca akan disusun bersama namun botol pertam 100 rupiah sampai
selanjutnya 200 rupiah dan botol kesepuluh menjadi 1000 rupiah ,sekilas kualitasnya
sama namun ketika di pegang baru terasa beda ketebalan serta kualitas botol
tersebut akan berbeda satu sama lain. Bahkan ketika pembeli ini meminta harga
50 rupiahpun bisa ia sangupi asal orderan banyak serta bahan yang sesui harga
murah tersebut.
3. Cara menghitung modal
dengan sistem konteiner.
Seorang pembeli di
china pernah kaget ketika ditawari 10 konteiner celana dalam dengan harga
perlusin hanya seribu rupiah saja ,diapun bingung karena ia menghitung bahan
serta biaya produksi celana dalam itu dengan kualitas seperti itu minimal enam
ribu rupiah dan dengan dihitung ongkos kirim serta tiket keindonesia maka
jatuhnya harga celana dalam itu hanya seribu lima ratus rupiah dan ia pasarkan
ke grosir d lima ribu saja dia sudah untung dan diangap murah sekali. Setelah
ia bertanya megapa bisa murah ,orang china itupun menjelaskan memang biaya
produksi serta bahan celana dalam itu perlusin sekitar enam ribu rupiah namum
ia menghitung modalnya berdasar jumlah keseluruhan konteiner ,misal ia mengeluarkan
uang 100juta untuk menproduksi 20 konteiner celana dalam itu ,ketika ia bisa
menjual celana dalam 10 konteiner dengan harga 100 juta maka untuk 10 konteiner
kedua ia bisa menjual hanya dengan 30 juta dan ia untung 30 juta walau
konterner itu sebenarnya berharga modal 50 juta. Kemudian setelah habis ia akan
menproduksi celana dalam dengan model baru lagi.
4. Karyawan yang loyal.
Hampir dikatakan di
China tak ada demo hingga proses produksi lancar dan hubungan antara karyawan
pengusaha dan pemerintah di susun dengan baik dan saling menguntungkan. Inilah
sedikit ulasan dari hasil ngobrol dengan teman teman saya yang beprofesi
sebagai importir barang dan produk dari china. Semoga suatu hari pemerintah dan
pengusaha serta karyawan di Indonesia bisa belajar dari kesuksesan negeri tirai
bambu ini.
5. Upah buruh murah.
Upah buruh di China
relatif lebih rendah dibanding upah buruh di negara-negara maju yang menjadi
saingan dagangnya. Sehingga perusahaan-perusahaan China berani menjual produk
dengan harga di bawah harga pasar dunia.
6. Bunga kredit bank
sangat rendah ( 3 persen per tahun).
Bandingkan dengan
bunga kredit di Indonesia yang besarnya 11 persen sampai 12 persen per tahun.
Bunga kredit rendah berarti beban/biaya produksi juga rendah sehingga wajar
produk-produk China dijual dengan harga yang sangat murah.
7. Di China tidak ada korupsi,
pungli atau KKN antara pejabat pemerintah dan pimpinan perusahaan.
Tidak adanya korupsi
ini akan meringankan beban/biaya produksi perusahaan. Sehingga mereka dapat
menjual produk-produknya dengan harga yang sangat murah.
Bagaimana
dengan biaya produksi dalam Negeri?
Mahalnya biaya transportasi dan ongkos produksi di
Indonesia, membuat harga suatu produk tidak kompetitif dipasar lokal apalagi
pada pasar Internasional, hasil Industri made in Indonesia saat ini
nyaris hanya bisa bertahan pada pasar dalam negeri, dan itupun sudah mulai
tertekan karena desakan barang yang sama dari China, harganya pun jauh
lebih murah, walaupun mutunya sulit untuk dipercaya.
Faktor
harga murah merupakan strategy China untuk merebut pangsa pasar besar di
Indonesia, dan bukan mustahil industri-industri kecil hingga industri
skala besar akan gulung tikar dalam bebarapa bulan kedepan oleh karena
hancurnya pasar lokal yang diserbu produk import dari China, dan ini memang
rencana besar pemerintahan China, agar Indonesia menggantungkan sepenuhnya
kebutuhan domestiknya terhadap Industri China.
Ketidak
mampuan Industri Indonesia untuk bersaing dengan melakukan pengurangan ongkos
produksi dan distribusi menjadi salah satu penyebab nilai jual produk
dalam negeri mahal, hancurnya sarana infrastruktur antar pulau dan banyak
yang sudah masuk dalam kategori rusak berat, seperti penuturan pengusaha
angkutan darat, membuat harga barang lokal mahal, ditambah lagi
produk yang dihasilkan memakai bahan baku import, seperti produk tekstil maupun
electronic yang kesemua bahan baku utamanya ( kapas, semicoductor) harus di
import dari luar negeri.
Ironisnya
kejadian ini terjadi setiap tahun dan belum ada tanda-tanda perbaikan,
lonjakan harga produk local yang tidak masuk akal, sering terjadi
kelangkaan bahan baku, dan akhirnya produk yang dihasilkan didalam
negeri tidak akan mampu untuk bersaing dengan produk yang dihasilkan
dari Vietnam, maupun China.
Dalam
semester pertama tahun ini, Indonesia sangat kesulitan untuk mendapatkan
bahan baku kapas bagi keperluan Industri tekstil dalam negeri, kapas yang
dihasilkan oleh beberapa negara seperti, Amerika serikat, India, Pakistan dan
sebagian Negara Amerika Latin, telah habis diborong oleh Importir dari China
tahun lalu, lewat perdagangan berjangka atau yang lebih dikenal dengan istilah
future trading, imbasnya produsen tekstil ditanah air kalang kabut dan
harus mengikuti fluktuatif kenaikan harga yang ditetapkan oleh Eksportir China
hingga mencapai 50% dari harga dasar dipasar Internasional.
Lonjakan
harga tersebut berimbas pada penghentian kegiatan produksi garment maupun
Industri rumahan di dalam negeri, kenaikan harga bahan baku tidak diimbangi
dengan kenaikan harga jual produk sehingga konsumer tidak melakukan pembelian
produk secara rutin akhirnya stock menumpuk dan tidak ada kepastian kapan
produk tersebut akan diserap oleh pasar.
Importir
dari kelas menengah timur tengah maupun eropa timur sudah 6 bulan lebih tidak
pernah datang untuk melirik produk garment Indonesia, dapat dibayangkan berapa
banyak devisa yang hilang akibat kenaikan harga kapas yang sengaja dilakukan
oleh pengusaha China tersebut, jika dulu industri garment kita merupakan
andalan utama pemasukan devisa, kini mereka beralih menjadi importir untuk
memasukkan barang yang sejenis dari China, imbasnya adalah pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja dilingkungan pabrik mereka seperti yang terjadi di Jawa
barat, Jawa tengah maupun pusat sentra Industri di Tanah Air.
Adakah
jalan lain yang dapat ditempuh untuk menghidupkan kembali kejayaan Industri di
Tanah Air? untuk jangka pendek sepertinya kita tidak punya harapan, namun
bilamana pengembangan Industri pertanian Kapas dikembangkan di Nusa Tenggara
maupun daerah lainnya, Industri tekstil kita bisa bangkit kembali asalkan
pemerintah memberikan dukungan penuh seperti yang dilakukan untuk industri
kelapa sawit, dimana saat ini hanya produk ini yang masih bertahan dipasar
internasional, karena saingan kita hanya Malaysia saja.
Mahalnya harga produk dalam negeri yang
berakibat rendahnya daya saing, merupakan serentetan permasalahan yang
disebabkan tingginya biaya logistik dalam negeri.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Bidang Logistik Carmelita Hartoto mengatakan, selain persoalan
infrastruktur, penyebab melambungnya biaya logistik diakibatkan tidak
meratanya pemakaian bahan bakar minyak (BBM) subsidi di daerah.
Menurut dia, tidak semua transportasi logistik
jalur darat mendapatkan BBM bersubsidi. Bahkan sebagian membeli BBM subsidi di
pengecer pinggir jalan.
Karenanya, Carmelita meminta pemerintah menghilangkan BBM bersubsidi untuk para pelaku logistik, khususnya kepada mobil pengantar barang.
“Kalau biaya logistik tinggi pasti akan menimbulkan harga jual yang tidak efisien. Belum lagi terjadi kerusakan barang di jalan,” katanya.
Karenanya, Carmelita meminta pemerintah menghilangkan BBM bersubsidi untuk para pelaku logistik, khususnya kepada mobil pengantar barang.
“Kalau biaya logistik tinggi pasti akan menimbulkan harga jual yang tidak efisien. Belum lagi terjadi kerusakan barang di jalan,” katanya.
Guru Besar Bidang Transportasi dan Logistik
Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar M Yamin Jinca mengatakan, mahalnya
biaya logistik dikarenakan tiga faktor yakni muatan, kapal, pelabuhan dan
infrastruktur.
Kapal-kapal pengangkut logistik yang mayoritas
telah berumur tua juga menjadi penyebab mahalnya biaya logistik. “Kapal-kapal
kita punya masalah. Kebanyakan sudah tua. Artinya biaya untuk pemeliharaaan
sangat tinggi sekali. Itu yang menyebabkan biaya untuk transfer barang
menjadi mahal,” ucapnya.
Terkait investasi kapal, menurut Yamin,
tingginya harga kapal baru tidak sebanding dengan hasil atau pendapatan yang
diterima oleh para pengusaha transportasi logistik.
Selain itu, akses laut yang mengalami banyak pendangkalan
di beberapa pelabuhan di kota-kota besar seluruh Indonesia telah membatasi
jalur kapal. Pendangkalan tersebut menyebabkan pelabuhan hanya bisa ditempati
oleh kapal-kapal pengangkut berkapasitas kecil.
Mahalnya
produk buatan dalam negeri dibandingkan dengan impor, menurut Kamar Dagang dan
Industri karena biaya logistik yang mahal di dalam negeri. "Lama kelamaan
produk kita ini tidak laku, karena biaya logistik kita mahal yang berdampak
kepada mahalnya produk dalam negeri," ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang
Indonesia (Kadin) Bidang Logistik Carmelita Hartoto di Hotel Mulia, Jakarta,
Selasa (26/3).
Dia
mencontohkan biaya pelabuhan di Indonesia juga cukup mahal dibandingkan dengan
biaya pelabuhan luar negeri, sehingga serbuan produk asing lebih murah
dibanding produk dalam negeri.
Sebagai
komparasi dari Singapura ke Jepang biaya kapal USD 600 dan biaya pelabuhan USD
200, sementara dari Jakarta ke Medan biaya kapal Rp 6 juta sedangkan biaya
pelabuhan Rp 3,5 juta.
Tingginya
biaya logistik, membuat pengusaha logistik Indonesia membeli armada kapal yang
juga tua sehingga ongkos perawatan lebih mahal. "Ya akhirnya harga produk
kan akan berimbas lebih mahal juga," ujarnya.
Pengamat
Transportasi Yamin Jingca mengakui bahwa mahalnya biaya logistik dikarenakan 3
faktor, yakin muatan, kapal, pelabuhan dan infrastruktur. "Kita harus
menegaskan pemerintah untuk segera membangun infrastruktur khususnya
infrastruktur transportasi." ujarnya.
Permasalahan
akses darat pun masih menjadi faktor mahalnya biaya logistik, karena akses
transportasi geometrik jalan yang masih bermasalah. "Sekarang banyak
kontainer menumpuk di pelabuhan, karena masih banyak pelabuhan yang dibangun
tidak singkron dengan akses transportasinya," katanya.
Belum selesai permasalahan di sekitar pelabuhan,
masih ada juga masalah pada akses jalan raya yang menghubungkan kota tujuan
dengan pelabuhan. Menurut Yamin, permasalahan tersebut berawal dari kondisi
geometrik jalan yang belum disesuaikan dengan teknologi akses jalan.
Ia menilai, hal itu karena belum adanya sinergi
antara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai pihak yang berwenang atas
pelabuhan dengan Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU) yang berwenang atas
akses jalan raya.
Ketua Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia
(APBMI) Bambang Rakhwardi mempermasalahkan adanya kegiatan bongkar muat
atau percepatan arus barang di setiap pelabuhan yang berbeda. Hal itu membuat
para pelaku usaha transportasi logistik tidak dapat bekerja maksimal.
“Saya dari asosiasi bongkar muat pengennya cepat.
Tapi karena infrastruktur dan di kontainer sendiri juga ada batasan, dari sisi
perusahaan bongkar muat ada kendalanya,” kata Bambang.
Ketua Asosiasi Logistik Forwarder Indonesia
(ALFI) Iskandar Zulkarnain menambahkan, salah satu faktor tingginya biaya
logistik karena ekspansi anak perusahaan PT Pelindo II.
Menurut Iskandar, ekspansi Pelindo II mengancam
eksistensi perusahaan-perusahaan swasta. Sebab, BUMN itu menguasai dari hulu
hingga hilir. “Ini membuat UKM otomatis gulur tikar,” kata Isakandar.
Ø Kesimpulan
Maraknya perdagangan
produk China di dalam negeri dipicu karena murahnya biaya produksi Negara China.
Berbeda dengan Indonesia yang mempunyai biaya produksi yang tinggi. Penyebab rendahnya
biaya produksi produk-produk China antara lain, dukungan pemerintah, menjual
produk dengan berbagai kualitas, cara menghitung modal
dengan sistem konteiner, karyawan
yang loyal, upah buruh murah, bunga
kredit bank sangat rendah ( 3 persen per tahun), dan di China tidak ada korupsi,
pungli atau KKN antara pejabat pemerintah dan pimpinan perusahaan.
Sedangkan di Indonesia, biaya tranportasi yang sangat mahal, upah tenaga kerja
yang tinggi, dan korupsi yang dilakukan para pejabat/pengusaha-pengusaha tinggi
menyebabkan mahalnya biaya produksi dalam Negeri.
Ø Daftar Pustaka
Nama :
Lidiana Tri Cahyani
Kelas :
1EB24
NPM :
24212194
Tugas ke 2
Komentar
Posting Komentar